<$BlogRSDURL$>
 

Monday, July 10, 2006

 

Berkunjung Ke Rumah Paman (Lingkungan Sekolahku yang Asri dan Nyaman)


ini bukan foto di rumah paman,tapi dititipin di ImageShack.us

"Pake susu, Mas?"
"Ya"
jawab saya..
Dan, penjual Angkringan itupun mulai menuangkan satu sachet susu ke dalam minuman jahe panas saya. Mungkin dia sengaja memilih susu dalam kemasan sachet supaya hemat dan nggak cepat basi bila dagangannya nggak laku. Sejenak kemudian dia menghaturkan segelas jahe panas plus susu kepada saya. Saya mulai meneguknya pelan-pelan. Susunya nggak enak!

Dari bentuk mata dan logat bicaranya, saya berani-beraninya memvonis penjual Angkringan itu sebagai seorang keturunan Tionghoa. Entah siapa namanya, tapi saya memanggilnya 'Paman Itu' dalam hati. Seorang paman yang kurang beruntung karena hanya menjadi seorang pedagang Angkringan, tidak seperti orang Tionghoa lainnya. Supaya lebih yakin, saya cross check dengan wajah kedua anaknya yang tertidur lelap di bawah gerobak Angkringan. Sama. Anak-anaknya juga berwajah Tionghoa.

Anak-anak Paman Itu tetap tertidur lelap walaupun di sampingnya beberapa ekor cecurut tanpa merasa berdosa mengobrak-abrik sampah demi sisa-sisa makanan. Cecurut-cecurut tersebut juga kurang beruntung karena bibirnya terlalu monyong dan badannya sangat bau, hingga kucingpun enggan memakannya. Ketidakberuntungan cecurut-cecurut itu pun semakin lengkap karena mereka nggak punya merek sama sekali, berbeda dengan Si Logitech yang saya pakai di kantor.

Di sebelah timur gerobak angkringan tersebut berdiri kokoh empat ( 5 ) buah tenda putih yang berperan sebagai Rumah Sakit Darurat bagi korban gempa. Orang-orang mengira kalau itu Rumah Sakit Musiman atau Rumah Sakit Tiban. Tapi mereka salah besar! Konon katanya kalo berobat di sana gratis, karena Rumah Sakit tersebut bantuan dari Negeri Seberang. Saya masih heran, setahu saya di dalam peta nggak ada negara yang namanya Negeri Seberang. Tapi, biarlah nggak usah diambil hati. Yang penting mereka rela menolong saudara-saudara kita yang menjadi korban gempa. Tanpa pamrih, pura-pura maupun prasangka.

Di sebelah selatan berdiri kokoh Keraton Yogyakarta. Jaraknya 60 meteran dari tempat saya duduk di Angkringan. Keraton tersebut sudah lama berdiri jauh sebelum saya duduk di Angkringan. Saya benar-benar kalah sama Keraton tersebut karena begitu kuatnya berdiri, sedangkan saya hanya bisa duduk.

Tepat 55 meter di depan Keraton itu (Insya Allah kurang lebih 55 meter), seorang tukang becak berusaha tidur nyenyak dalam becaknya. Tapi dia tak kuasa tidur nyenyak karena mungkin kedinginan malam itu. Bagi dia, becak itu adalah rumahnya. Nggak perlu kost, nggak perlu ngontrak rumah bahkan nggak perlu nyewa kamar hotel kalo hanya sekedar buat tidur. Tukang becak itu nggak memiliki perabotaan sama sekali dalam becaknya, hanya sebuah tas besar berisi pakaian. Karena tas yang dia miliki saya ceritakan dalam blog ini, dia lantas membuka tas tersebut dan mengeluarkan sebuah sarung yang kemudian dia balutkan ke tubuhnya. Kasihan. Dia nggak punya perabotan sama sekali yang bisa dia gadaikan ketika dia butuh uang, misalnya. Saya sendiri kadang menyekolahkan laptop ke Pegadaian terdekat di sekitar Anda kalo kepepet butuh uang. Jauh lebih baik daripada ngemis!

Tukang becak itu sudah menganggap alun-alun tempat dia tidur sebagai rumahnya. Dan, Tukang becak itu dapat digolongkan sebagai kaum beruntung karena Sultan nggak keberatan sama sekali. Bahkan Sultan pun nggak pernah mengusir dia, karena Sultan nggak pernah keluar tengah malam ke alun-alun seperti saya. Saya nggak tahu nama tukang becak tersebut. Saya panggil dia 'Paman Yang Satunya Lagi'. Dalam hati.

Paman Yang Satunya Lagi turun dari becaknya menghampiri Angkringan tempat saya duduk. Dia memesan teh hangat untuk menghangatkan tubuhnya. Sesaat kemudian seorang wanita setengah baya duduk menghampiri Paman Yang Satunya Lagi. Dari percakapan, pemilihan kata, tata bahasa dan pelafalannya, jelas dia seorang pelacur. Saya memanggil dia dalam hati 'Tante Itu'! Tante Itu juga kurang beruntung, karena dia tersisih dari tempat mangkal yang seharusnya di depan Bank Indonesia. Mungkin karena sudah tua dan kurang peminat, maka dia membidik segmen middle low. Tapi, Paman Yang Satunya Lagi sedang nggak punya duit dan kebetulan Iman-nya sedang agak bagus, maka dia menolak Tante Itu. Tante Itu menatap mata saya. Saya menatap mata Tante itu. Tante Itu malu, lantas berpaling menatap mata Cecurut di bawah gerobak Angkringan. Cecurut dan Tante Itu saling bertatapan. Lama kelamaan Tante Itu merasa malu. Dan, dia pergi.

Saya lantas memakan tahu isi yang sudah dingin. Baru satu gigitan, terpaksa saya muntahkan lagi karena ada sehelai rambut pendek keriting di dalamnya. Saya langsung berburuk sangka kepada Isteri Paman Itu yang memasak tahu isi tersebut. Secara jelas saya membayangkan Isteri Paman Itu mengeriting rambutnya yang lurus, meotongnya menjadi 3 cm, memasukkannya ke dalam tahu isi, dan menandainya agar bisa dimakan oleh saya. Tapi, karena saya takut menyinggung perasaan Paman Itu akhirnya saya menghabiskan tahu isi tersebut.

Penunjuk waktu di HP saya menunjukkan pukul 00.58 WIB. Itu artinya saya harus segera pulang. Tapi, saya melihat penunjuk waktu di HP saya yang satunya lagi baru menunjukkan pukul 00.45, yang artinya 13 menit lebih muda. Maka saya mengikuti jam yang lebih muda dan tidak jadi pulang. Kemudian saya mengambil sepotong tempe goreng dan bercita-cita tak kan ada lagi rambut pendek keriting di dalamnya supaya saya bisa berbaik sangka kepada Isteri Paman Itu. Akhirnya cita-cita saya terkabul.

Pukul 01.00 saya menyudahi kegiatan saya nongkrong di Angkringan. Minuman dan makanan yang saya nikmati bernilai tiga ribu tujuh ratus lima puluh rupiah. Dengan berat hati saya menyodorkan uang seratus ribu rupiah dengan harapan Paman Itu nggak punya kembalian dan bisa dijadikan alasan oleh saya buat ngutang. Ternyata harapan saya meleset. Uang yang dimiliki Paman Itu jauh lebih besar dari pada uang saya.

Akhirnya saya berjalan pulang ke rumah yang jaraknya tak sampai 70 meter, melewati Mesjid Gedhe Kauman, Makam Nyi Ahmad Dahlan dan belok kiri ke rumah saya. Saya lalu tertidur dan menikmati alam mimpi saya sepuas-puasnya. Karena, esok pagi setelah terjaga, saya harus melepaskan alam mimpi saya dan masuk ke dalam dunia nyata untuk segera mewujudkan semua mimpi-mimpi saya.

Karena di dunia ini masih ada orang egois yang tak rela melepaskan alam mimpinya ketika dia sudah terjaga. Membuat orang lain harus pura-pura bermimpi. Keparat!

*****

Diangkat dari kisah nyata saya yang didramatisir ketika menghabiskan long weekend di sekitar rumah. Lima hari kerja, Sabtu dan Minggu Libur.

pelayan

gini-gini juga foto saya

I believe that somewhere in the darkness night; a candle glows!
->"AaPep!"<-

menu kemaren


pesanan



resep tetangga


menu utama


resep

1000 gr. blogger, 500gr. warnadunia, 500gr. cinila, 500 ml. wdcreezz, 500 ml. haloscan, 500 ml. islamicfinder, absolut ad secukupnya, cinta sebanyak-banyaknya.